"Seperti biasanya ku buka Fesbukku tuk mencoba melihat siapa saja yang lagi hangat hangatnya buat setatus dipagi ini tuk menemani ...
"Julaibib, begitulah ia dikenal. Kata ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya, kerdil. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki, atau mungkin tidak pula kedua orangtuanya karena ia pun tidak tahu siapa ayah dan bundanya. Demikian pula, orang-orang disekitarnya, semuanya tidak tahu atau tak mau tentangnya. Tak dikenal jua, dari suku manakah ia. Celakanya lagi, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat sosial yang tak terampunkan.
Tampilan fisik dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya using. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan dan berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapan.
Abu Barzah, seorang pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk di antara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan kepadanya!”
Demikianlah Julaibib.
Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmat-Nya, tak satu pun makhluk bisa menghalangi. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat dan jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Rasul mulia, sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Nabi, “Julaibib”begitu lembut beliau memanggil, “Tidakkah engkau menikah?”
Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum, “Siapakah orangnya ya Rasulallah, yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?” karena ia menyadari dirinya; miskin papa dan tidak berkeluarga, berfisik cacat pula. Seolah, tiada seorang pun yang memperhatikannya, ada dan tiadanya adalah sama. Namun, ia tidak menyesali diri dan menyalahkan takdir ilahi, pada muka maupun kata-katanya.
Rasululloh juga tersenyum. Mungkin memang tidak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi pada hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, beliau menanyakan hal yang sama, “Julaibib, tidakkah engkau menikah?” Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama pula. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.
Dan di hari ketiga itulah, Nabi menggamit lengan Julaibin dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar sebagaimana tersebut dalam riwayat Abu Barzah al Aslami. “Aku ingin” kata Rasululloh kepada si empunya rumah, “melamar puteri kalian.”
“Betapa indahnya dan betapa barakahnya.” Begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi lah calon menantunya. “Ya Rasulallah, sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram dari rumah kami.”
“Tapi aku melamar bukan untukku sendiri.”kata Rasululloh, “Kupinang putri kalian untu Julaibib?”
“Apa? Julaibib?”, nyaris ayah sang gadis terpekik. Berkelebat bayangan Julaibib dengan detailnya, dan ia terkaget.
“Ya. Untuk Julaibib.”
“Ya Rasulallah.” Terdengar helaan nafas berat, “Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini.”
“Dengan Julaibib?” seru istrinya dari dalam rumah, “Bagaimana bisa? Julabib yang berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat dan tak berharta?” Tak puas, ia melanjutkan kata-kata yang menjadi bukti betapa ia berat hati melepas putrinya untuk dinikahkan dengan Julaibib, “Demi Allah tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib.”
Perdebatan itu tidak berlangsung lama karena sang puteri dari balik tirai berkata anggun, “Siapakah yang meminta wahai ayah dan ibu?”
Keduanya pun menjelaskan.
“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasululloh? Demi Allah, kirim aku kepadanya. Dan demi Allah, karena Rasululloh lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Sang gadis shalihah itu lalu membaca firman Allah,
“Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah tersesat dalam kesesatan yang nyata.” (al Ahzab : 36).
Beliau pun menikahkannya dengan Julaibib.
Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah berkata kepada Tsabit, “Tahukah kamu, apa doa Rasululloh untuk wanita itu?”
Ia berkata, “Apa gerangan doa Nabi untuknya?”
Beliau mengucapkan doa, “Ya Allah, limpahkan kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Jangalah kau biarkan hidupnya payah dan bermasalah.”
Benarlah doa Nabi Muhammad. Namun, kebersamaan keduanya ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang istri shalihah dan bertakwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib lebih dihajatkan langit meski tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni jannah daripada dunia yang bersikap tidak terlalu bersahabat kepadanya.
Saat ia syahid, Nabi begitu kehilangan. Kehilangan. Sangat kehilangan. Tapi ia akan mengajarkan sesuatu kepada para shahabatnya. Maka ia bertanya-tanya di akhir pertempuran, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”
Para shahabat menjawab, “Fulan, fulan dan fulan.”
Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”
Shahabat kembali menjawab, “Ya. Fulan, fulan dan fulan.”
Lagi-lagi beliau bertanya, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”
Dan selalunya shahabat menjawab, “Ya. Fulan, fulan dan fulan.”
Kemudian Nabi Muhammad bersabda dengan menghela nafasnya, “Tetapi aku kehilangan Julaibib. Carilah dia!”
Akhirnya, mereka berhasil menemukannya, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di seputaran menjelejah tujuh jasad musuh yang telah ia bunuh terlebih dahulu. Beliau bersabda, “Ia telah membunuh tujuh orang sebelum akhirnya mereka membunuhnya.” Nabi Muhammad, dengan tangannya sendiri mengafaninya. Beliau menshalatkannya secara pribadi. Dan kalimat beliau untuk Julaibib yang akan membuat iri semua makhluk hingga hari berbangkit adalah, “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.”
Alangkah indahnya. Tidak dikenal manusia tapi dikenal Rabbnya manusia.
semoga kisah diatas menjadikan kita orang orang yang tidak memandang kekurangan seseorang dengan penuh kebencian atau merasa lebih dibandingkan orang lain,karena Allah menciptakan hamba-Nya yang demikian agar menjadi contoh dan bisa diambil hikmahnya,,"dan mungkin kekurangan seseorang itu lebih baik dimata Allah dari pada kelebihan kita dalam segala hal yang kita miliki,,"semoga kita tetap menjadi hamba hamba yang pandai bersyukur atas nikmat yang Allah beri terhadap kita.
COMMENTS