Assallamu’allaikum.Wr.Wb Met sore semua buat para sahabatku diraja singa,,”pertama tama mari kita ucapkan syukur Alhamdul...
Assallamu’allaikum.Wr.Wb
Met sore semua buat para sahabatku diraja singa,,”pertama tama mari
kita ucapkan syukur Alhamdulillah,bahwasanya disore ini kita masih dalam
keadaan sehat dan bisa berbagi kembali walau sebuah catatan kecil.
Senang rasanya kita berbasa basi sambil bercerita tentang sebuah kisah
klasih islam tentang perjuangan para pembela islam,para teladan dalam
islam, atau kisah tentang para pencari kebenaran islam.
Disore ini aku ingin sedikit berbagi kisah seorang Darwis dan seorang
raja,dimana mungkin dikisah ini ada pelajaran atau hikmah yang terpendam
yang bisa diambil buat teman-teman semua juga saya pribadi.
inssaAllah..”
Dikisahkan suatu hari seorang Raja Iran berkata
kepada seorang darwis, "Ceritakanlah padaku sebuah kisah." Darwis itu
berkata, "Yang Mulia, saya akan ceritakan kisah Hatim Tai, Raja Arab dan
manusia paling murah hati sepanjang masa; bila paduka dapat menyamai
kemurahan hatinya, niscaya paduka akan menjadi raja teragung yang pernah
ada."
"Ceritakanlah," kata sang raja. "Tetapi kalau kau tidak
menghiburku dan merendahkan kemurahan hatiku, kau akan kehilangan
kepalamu." Raja itu berkata demikian sebab di Persia sudah biasa bahwa
orang-orang di istana akan menyanjung-nyanjung raja sebagai orang paling
agung di antara semua manusia; dulu, sekarang, atau besok.
"Saya lanjutkan," kata darwis itu dengan tenang (sebab para darwis tak
mudah dibuat gentar). "Kemurahan hati Hatim Tai, dalam karakter maupun
jiwa, melampaui semua manusia." Dan inilah kisah yang dituturkan darwis
itu.
Seorang Raja Arab yang lain merasa iri atas kekayaan, desa
dan oase, onta, serta prajurit yang dimiliki Hatim Tai. Orang ini pun
menyatakan perang terhadap Hatim, mengutus suruhan dengan pesan:
"Tunduklah padaku. Kalau tidak, aku akan melumat kau dan negerimu, dan
merampas semua kepunyaanmu."
Ketika pesan itu sampai ke istana
Hatim, para penasihatnya serta-merta menyarankan agar raja mengerahkan
seluruh prajurit untuk mempertahankan kerajaan itu. Kata mereka, "Tak
diragukan lagi bahwa lelaki dan perempuan bertubuh sehat di negeri ini
akan dengan senang hati menyerahkan nyawa untuk membela raja yang mereka
cintai."
Tetapi, Hatim, diluar dugaan para penasihat itu,
berkata, "Tidak, dari pada kalian bertempur dan menumpahkan darahmu
bagiku, lebih baik aku pergi meninggalkan negeri ini. Kiranya jauh dari
jalan kemurahan hati bila aku menjadi sebab pengorbanan hidup seorang
lelah atau perempuan. Kalau kalian menyerah tanpa perlawanan, raja ini
hanya akan menuntut pengabdian dan pajak, dan kalian tidak akan
menderita dibuatnya. Sebaliknya kalau kalian melawan dan kalah, maka
sesuai dengan kebiasaan perang ia akan merampas harta kalian, dan dengan
begitu tak ada lagi sepeser pun milik kalian."
Tak lama
kemudian, Hatim beserta seorang hamba yang gagah berani pergi ke dekat
pegunungan, di mana ditemukannya sebuah gua. Di sana, ia membenamkan
diri dalam perenungan.
Sebagian rakyat sangat terharu atas
pengorbanan Hatim Tai yang merelakan kekayaan dan kedudukannya demi
keselamatan mereka. Tetapi yang lain, terutama orang-orang yang senang
mendapat nama dalam hal keberanian, menggerutu, "Bagaimana Hatim tahu
bahwa orang ini sebenarnya bukan seorang pengecut?" Dan yang lain lagi,
yang agak berani, berkata, "Ia tampaknya hendak menyelamatkan dirinya
sendri, sebab ia menyerahkan kita kepada nasib yang tak diketahui.
Barangkali kita akan menjadi budak dari raja yang tidak kita kenal ini,
raja lalim yang menyatakan perang atas negeri tetangga."
Yang
lain tetap diam, sebab tak yakin apa yang mesti dipercayai hingga mereka
memperoleh sejumlah pertimbangan untuk menyusun pikirannya.
Dan demikianlah raja lalim itu, beserta ribuan prajurit, merebut negeri
Hatim. Raja itu tidak memungut pajak lebih tinggi dari pada yang
dipungut Hatim. Tetapi, ada satu hal yang mengganggunya, yaitu
bisik-bisik orang banyak bahwa negeri yang baru dimilikinya itu
merupakan buah dari kemurahan hati Hatim Tai yang menyerahkan negeri itu
kepadanya.
"Aku tidak dapat menjadi raja sejati atas negeri
ini," pikir raja lalim itu, "sebelum aku menangkap Hatim Tai. Selama ia
masih hidup, sebagian rakyat masih akan setia kepadanya. Mereka tidak
akan sepenuhnya tunduk kepadaku, meskipun mulut mereka berkata begitu."
Raja itu pun mengumumkan bahwa barangsiapa yang menyerahkan Hatim Tai
akan mendapat hadiah lima ribu keping emas. Hatim Tai tidak mengetahui
perihal maklumat tersebut sampai suatu hari ketika ia duduk di mulut gua
dan mendengar percakapan antara tukang kayu dan istrinya.
Tukang kayu berkata, "Istriku sayang, sekarang aku sudah tua dan kau
masih sangat muda. Kita memiliki anak yang masih kecil, dan dalam urutan
alamiah peristiwa-peristiwa, sudah sewajarnya aku akan mati lebih
dahulu darimu sementara anak kita masih belia. Seandainya kita bisa
menemukan Hatim Tai dan menangkapnya, untuk memperoleh hadiah lima ribu
keping emas dari raja, masa depan kalian tentu akan terjamin."
"Yang kau katakan itu memalukan!" sergah istrinya, "Lebih baik kau mati,
dan aku serta anak kita kelaparan, dari pada tangan kita bernodakan
darah orang yang paling murah hati sepanjang masa, yang mengorbankan
segalanya bagi kebaikan kita."
"Begitu ya," kata orang tua itu,
"Tetapi seorang lelaki harus memikirkan kepentingannya sendiri.
Bagaimanapun aku punya tanggung jawab. Lagipula, dari hari ke hari
semakin banyak orang yang menganggap Hatim itu pengecut. Hanya masalah
waktu saja sebelum mereka mencari ke semua tempat persembunyian dan
menangkapnya."
"Anggapan bahwa Hatim pengecut dilandasi oleh
hasrat mendapat emas. Lebih banyak lagi pembicaraan serupa ini dan Hatim
akan hidup sia-sia."
Pada saat itu Hatim Tai berdiri dan
menemui pasangan itu. "Aku adalah Hatim Tai," katanya, "serahkanlah aku
pada raja baru itu dan ambil uang hadiahmu."
Tukang kayu itu
merasa malu, dan air matanya tumpah. "Tidak, Hatim yang Agung," katanya,
"aku tidak mungkin tega menyerahkanmu."
Sementara mereka berbicara, sekelompok orang yang mencari raja dalam pelarian dan akan menangkapnya berada di dekat sana.
"Kalau kau tidak mau menyerahkanku," kata Hatim, "aku akan menyerahkan
diriku pada raja dan mengaku bahwa kau telah membantuku bersembunyi.
Dengan begitu, kau akan dihukum karena berkinianat."
Sekelompok
orang tadi, yang mengenali Hatim, segera menangkapnya dan membawanya
kepada raja lalim itu. Tukang kayu itu mengikuti dengan sedih di
belakang.
Ketika mereka sampai di istana, masing-masing orang
dalam kelompok tadi mengaku dirinya sebagai penangkap Hatim. Bekas raja
itu, yang membaca keraguan di wajah penggantinya, minta izin untuk
berbicara, "Ketahuilah, wahai Raja, bahwa penjelasanku seharusnya juga
didengarkan. Aku ditangkap oleh tukang kayu ini dan bukan oleh
sekelompok orang itu. Karena itu, berilah kepada orang tua ini
hadiahnya, dan lakukan apa yang kau mau atas aku ..."
Mendengar
hal itu, si tukang kayu maju dan mengatakan kepada raja bahwa Hatim
telah menyerahkan dirinya, bukan ditangkap; bahwa Hatim berkorban agar
tukang kayu dan keluarganya memperoleh hadiah.
Raja baru itu
sungguh takjub oleh cerita tersebut sehingga ia pun menarik mundur
prajuritnya dan pulang ke negerinya sendiri. Tahta pun dikembalikan
kepada Hatim Tai.
Ketika mendengar kisah ini, Raja Iran, yang
melupakan ancamannya atas sang Darwis, berkata, "Suatu kisah yang bagus
sekali, darwis, dan bisa dipetik manfaatnya. Kau mungkin tak bisa, sebab
telah melepaskan semua kenikmatan hidup dan tak berhasrat memiliki apa
pun lagi. Tetapi, aku seorang raja. Dan aku sangat kaya. Raja-raja Arab
itu, yang hidup pada borok kadal, tak mungkin bisa menandingi Raja
Persia dalam hal kedermawanan sejati. Hmm, aku punya ide! Mari kita
kerjakan!"
Didampingi oleh sang darwis, Raja Iran mengumpulkan para
ahli bangunan yang terbaik di suatu tanah lapang yang sangat luas. Ia
pun menyuruh mereka merancang dan membangun sebuah istana megah berikut
aula besar dengan empat puluh jendela di atas tanah luas itu.
Raja juga memerintahkan agar alat-alat transportasi segera dibuat dan
istana itu dipenuhi dengan keping-keping emas. Ketika istana itu selesai
dibangun, keluarlah pengumuman, "Dengarkanlah! Raja atas segala raja,
Sumber Kedermawanan, telah menitahkan agar dibangun sebuah istana megah
dengan empat puluh jendela. Setiap hari, dari jendela-jendela itulah
nanti raja sendiri akan mendermakan emas kepada orang-orang miskin."
Demikianlah, setiap hari kerumunan ramai orang miskin datang ke istana
tersebut. Raja itu muncul setiap hari dari jendela yang berbeda dan
memberikan satu keping emas kepada tiap orang. Kemudian, raja menyadari
bahwa ada seorang darwis yang setiap hari datang, meminta sekeping emas
dan pergi. Mulanya raja berpikir, "Barangkali ia mengambil emas untuk
diberikan kepada seorang yang membutuhkan." Lalu, ketika dilihatnya
darwis itu lagi, ia membatin, "Barangkali ia sedang melaksanakan amal
tersembunyi sebagai prinsip para darwis, dan membawakan emas untuk orang
lain." Dan setiap hari ketika dilihatnya Darwis itu, ia menepis
prasangka buruknya. Tetapi pada hari keempat puluh, habislah
kesabarannya. Raja menangkap tangan Darwis itu, lalu berkata, "Dasar
orang celaka yang tak tahu pamrih, tak sekalipun kau bilang terima kasih
atau penghargaan kepadaku. Kau tidak senyum, tidak pula membungkuk,
tetapi kembali kemari setiap hari. Akan berapa lama seperti ini? Apa kau
mengambil pemberianku untuk memperkaya dirimu, atau kau pinjamkan emas
itu dengan riba? Kelakuanmu sungguh tercela, tak seharusnya dilakukan
oleh mereka yang mengenakan jubah tambal sulam terhormat para Darwis."
Segera sesudah makian tersebut keluar dari mulut raja, sang Darwis
membuang keempat puluh keping emas yang telah diterimanya. Katanya
kepada raja itu, "Ketahuilah, wahai Raja Iran, bahwa kedermawanan tidak
mungkin ada tanpa tiga hal. Pertama, memberi tanpa perasaan ingin
menjadi dermawan; kedua, kesabaran; ketiga, tidak menaruh prasangka."
Tetapi, raja itu tak pernah memahami. Baginya, kedermawanan ditentukan
oleh pikiran orang lain tentang dirinya, dan oleh perasaannya tentang
menjadi 'dermawan'.
Semoga kisah diatas memberi sedikit
gambaran bagaimana seseorang bisa menjadi mulia dimata masyarakat pada
umumnya, dan inssaAllah mulia pula dimata Allah. Yang penting ketika
seseorang ingin berbuat baik alangkah baiknya niat itu bukan untuk
dilihat baik oleh orang lain.tapi biarlah secara alamiah orang yang
menilai kita baik atau tidak perbuatan kita itu. Dan ketika kita telah
memebri kepada orang lain jangan pernah berprasangka buruk tentang
pemberian kita itu digunakan untuk hal apa.karena nilai baik itu telah
dicatat dengan baik pula oleh Allah.inssaAllah.
Wassallam..”
COMMENTS